Friday, April 22, 2011

Sentra Leather, Sukaregang


Sayang sekali jika Anda jalan-jalan ke Garut tapi tidak mampir ke sentra kerajinan kulit di Sukaregang. Terutama Anda seseorang yang selalu ingin tampil modis dan fashionable. Banyak barang-barang menarik yang rasanya bisa membuat Anda betah berlama-lama di sana.
Saya dan dua orang teman hampir “tak bisa” meninggalkan tempat itu saat berkunjung ke sana. Jika tidak ingat dompet yang semakin menipis, sementara perjalanan kami masih panjang, mungkin sampai hari gelap kami masih ada di sana. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah produk-produk kulit yang menarik dengan harga yang murah untuk jenis barang tersebut.
Sukaregang merupakan sentra industri kulit di Garut dengan produk utamanya jaket kulit. Namun di sini kita juga bisa menemukan produk-produk kulit lainnya seperti sepatu, tas, dompet, ikat pinggang, dan sarung tangan.
Lokasinya hanya sekitar 1 kilometer dari Pasar Garut, di Jalan Ahmad Yani. Tak mungkin lah tersesat jika sudah berada di Jalan Ahmad Yani, karena toko-toko di sepanjang jalan itu memasang plang nama toko yang jelas dengan tulisan “leather jacket”. Tinggal parkir kendaraan dan berjalan menyusuri  toko-toko itu dan mencari benda-benda unik yang sesuai dengan selera Anda. Atau Anda juga bisa naik angkutan kota trayek 01 dan 07, serta andong menuju ke tempat itu.
Jangan membayangkan jaket kulit yang dipakai tukang ojek di sini, tapi bayangkan saja jaket kulit yang dipakai Brad Pitt dalam film Fight Club, atau jaket kulit yang dipakai Uma Thurman di Kill Bill. Dengan kata lain, model-model jaket kulit itu tidak kampungan. Menurut Cecep Yusup, pemilik industri jaket kulit dengan merek Sabda, dia sering browsing di internet untuk mencari inspirasi model jaket yang akan diproduksi. Apalagi dia pernah bekerja magang di Jepang sehingga selera pasar Jepang sudah dikenalnya.
Kulit domba
Jaket-jaket kulit dari Garut ini kebanyakan dibuat dari kulit domba. Menurut Cecep, kulit dari binatang itu sangat lentur, mudah dibentuk, dan mudah dikerjakan sehingga sangat cocok untuk dijadikan jaket. Apalagi bahan baku kulit domba terbilang melimpah di Garut. Waktu saya tanya, apakah kulit-kulit itu berasal dari domba yang kalah dalam permainan adu domba, Cecep menjawabnya dengan senyuman.
Sementara untuk produk sepatu, model-modelnya tak kalah dengan sepatu-sepatu yang dijual di mal-mal megah di Jakarta. Jangan-jangan sepatu di mal-mal itu juga buatan Garut. Apalagi menurut data dari laman Pemerintah Kabupaten Garut, daerah pemasaran produk kerajinan kulit Garut ini juga ke Jakarta.
Untuk sepatu, para perajin menggunakan kulit sapi yang memang lebih keras dan cukup kuat untuk diinjak-injak dan melindungi kaki. Seorang perajin kulit bernama Anang mengatakan, kulit sapi yang digunakan didatangkan dari luar Garut. Bahkan ada kulit sapi yang diimpor dari Jerman.
Selain model-modelnya yang menarik, kualitas pengerjaan sepatu kulit Garut juga rapih. Sehingga tak mengherankan jika sepatu-sepatu pria buatan Anang, yang memiliki toko Raflesia di Jalan Gagak Lumayung, diekspor ke Jerman. Jadi hati-hati belanja sepatu di Jerman, jangan-jangan sepatu itu buatan Garut.
Sepatu baru yang saya beli di Sukaregang  sempat disangka keluaran butik oleh seorang kawan. Dia segera takjub saat saya bilang sepatu bermerek Garin—singkatan dari Garut Indonesia—itu merupakan karya karyawan Haji Ahmad yang memiliki gerai di Jalan Gagak Lumayung, anak dari Jalan Ahmad Yani. Sepatu berbahan kulit sapi yang lembut dan lentur itu ternyata sangat nyaman dikenakan. Meskipun sedikit “menggigit” di hari pertama, namun dua hari kemudian sepatu itu seperti melekat di kaki saya, membungkus layaknya “kulit kedua”. Wah, produk Indonesia semakin baik saja kualitasnya.
Murah
Kawan itu semakin takjub saat saya menyebutkan harga sepatu itu. Ya, soal harga ini yang membuat industri kerajinan kulit Sukaregang semaking menarik saja. Bayangkan, sepatu baru saya yang disangka buatan luar negeri itu harganya Rp 150.000. Itu pun masih ditawar sehingga harga jadinya Rp 125.000. Ada pula sepatu lain yang saya taksir hanya diberi harga Rp 75.000.
Sementara jaket kulit kebanyakan dibanderol harga Rp 400.000, belum pakai tawar-tawaran. Sebuah tas kulit domba yang sangat lembut dan manis diberi harga Rp 400.000. Itu juga belum ditawar. Padahal Anda tahu sendiri, orang Jakarta itu sangat kekeuh kalau sudah menawar sebuah barang.
Di tengah segala kelebihannya itu, ternyata ada juga kekurangan dari para perajin kulit ini. Banyak dari mereka yang kurang pede (percaya diri) untuk memasang merek atau nama mereka sendiri pada produk buatan mereka. Mereka memilih mencantumkan merek Braun Buffel untuk dompet, atau Prada dan Hermes untuk tas. Ada pula produsen yang mencoba-coba meniru Birkin bag-nya Hermes. Sepertinya Suku Dinas Perindustrian Kabupaten Garut harus bekerja lebih keras lagi agar para perajin itu lebih kreatif dan percaya diri. Toh hasil produksi mereka sangat layak untuk dipasarkan dengan nama sendiri.
Sekarang Garut terkenal dengan produksi dodolnya. Namun di masa datang, bisa jadi kota di tatar Parahyangan ini juga akan terkenal sebagai tujuan wisata belanja produk fashion dari kulit. Selamat berwista, selamat berbelanja, dan selamat bergaya

0 comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.